Hukum Menjual Dropshipping, Apakah Halal?
Yg jelas..ALLAH TELAH MENGHALALKAN JUAL BELI & MENGHARAMKAN RIBA
asal dropship tidak ada pihak yang dirugikan, tipu2.. barang yg dijual jg JELAS ADA..
maka mestinya HALAL
entah darimana awalnya postingan ini, tapi memang banyak sekali kalo googling nemu hadits ini jadi dalil pengharaman dropship..
berikut jawaban ulama Ust. Ahmad Sarwat mengenai Dropship
copas dari : http://www.rumahfiqih.com /m/x.php?id...akah-halal.htm
------------------------------
Assalamu’alaikum
Ustadz saya mau tanya, apa hukum jualan menggunakan sistem dropship? Caranya adalah saya menjual barang yang belum ada pada saya ke si A. Begitu si A transfer, saya membeli dari si B dan si B tersebut mengirimkan barangnya ke si A menggunakan nama saya sebagai pengirim.
Apakah jual beli seperti ini halal?
Wassalam
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Jawaban singkatnya boleh. Lalu bagaimana penjelasannya, mari kita bahas dari awal.
Dalam hukum jual-beli, tidak ada syarat yang melarang seseorang menjual barang milik orang lain. Juga tidak ada keharusan seseorang harus punya barang terlebih dahulu, baru boleh dia jual. Jadi prinsipnya, seorang boleh menjual barang milik orang lain, asalkan seizin dari yang punya. Dan seseorang boleh menjual 'spek' yang barangnya belum dimilikinya.
Cara Pertama : Simsarah
Cara ini disebut simsarah, yaitu seeorang menjualkan barang milik orang lain dan dia mendapat fee atas jasa menjualkannya. Akad yang pertama ini disepakati kehalalnya oleh seluruh ulama.
Bukankah si penjaga toko biasanya bukan pemilik barang? Barang-barang yang ada di toko itu bukan milik penjaga. Status penjaga cuma karwayan saja, bukan pemilik toko dan juga bukan pemilik barang. Bolehkah penjaga toko menjual barang yang bukan miliknya? Jawabannya tentu 100% boleh. Justru tugas utama si penjual di toko adalah bagaimana menjualkan barang yang bukan miliknya.
Kalau penjaga toko menjual barang miliknya sendiri di toko tempat dia bekerja, itu namanya pelanggaran dan dia bisa dipecat oleh bosnya.
Dan lebih jauh, ternyata barang yang ada di toko itu pun belum tentu milik bosnya. Karena barang-barang itu ternyata cuma konsinyasi saja. Kalau barang itu laku, uangnya disetorkan, kalau tidak laku, barangnya dikembalikan. Jadi dalam hal ini status toko bukan sebagai pemilik barang, status toko hanya menjualkan barang milik orang lain.
Lalu bagaimana dengan hadits berikut ini yang melarang kita menjual sesuatu yang tidak ada pada diri kita?
لاَ تَبِعْ مَالَيْسَ عِنْدَكَ
Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki (HR. Tirmizy, Ahmad, An-Nasai, Ibnu Majah, Abu Daud)
Hadits ini melarang seseorang menjual barang yang bukan miliknya, maksudnya seseorang menjual barang yang memang dia tidak bisa mengadakannya atau menghadirkannya. Misalnya, jual ikan tertentu yang masih ada di tengah lautan lepas. Tentu tidak sah, karena tidak ada kepastian bisa didapat atau tidak. Atau jual mobil yang bisa terbang dengan tenaga surya. Untuk saat ini masih mustahil sehingga hukumnya haram.
Selain itu para ulama juga menyebutkan bahwa maksud larangan dalam hadits ini adalah seseorang menjual barang milik orang lain tanpa SEIZIN dari yang empunya. Perbuatan itu namanya pencurian alias nyolong.
Tapi kalau yang punya barang malah minta dijualkan, tentu saja hukumnya halal. Dan yang menjualkan berhak untuk mendapatkan fee atas jasa menjualkan.
Kesimpulannya : Tidak ada larangan menjual barang milik orang lain, asalkan seizin dari yang punya barang.
Cara Kedua : Akad Salam (Salaf)
Cara kedua disebut dengan jual-beli salam, atau akad salam. Terkadan juga disebut dengan akad salaf. Keduanya bermakna sama. Bentuknya merupakan kebalikan dari jual-beli hutang atau kredit. Dalam jual-beli secara hutang atau kredit, barangnya diberikan duluan tetapi uangnya masih dihutang, alias dicicil.
Contohnya jual-beli sepeda motor secara kredit. Bila kita beli motor secara kredit, motor langsung kita bawa pulang, padahal uangnya masih ngutang selama tiga tahun. Status motor sudah 100% milik kita, meski pembayarannya masih berjangka.
Nah, akad salam adalah kebalikan dari akad kredit di atas. Yang dibayarkan tunai adalah uangnya, sementara barang atau jasanya dihutang. Hukumnya boleh dan sah dalam hukum syariah. Dan sebenarnya setiap hari kita sudah mempraktekkan.
Contohnya ketika kita beli tiket pesawat atau kereta api. Menjelang musim mudik, biasanya kita sudah beli tiket sejak sebulan sebelumnya, dan itu berarti kita sudah bayar secara tunai. Tetapi barang atau jasa yang menjadi hak kita baru akan kita nikmati bulan depan, sesuai dengan jadwal perjalanan kita.
Contoh lain adalah tukang jualan komputer. Modalnya cuma brosur dan spek (baca : spesifikasi) yang ditawar-tawarkan kepada calon pembeli. Lalu begitu ada yang tertarik, pembeli harus bayar lunas, tetapi komputernya akan dikirim 2-3 hari lagi. Ternyata di tukang komputer itu belum punya komputer, maka dengan uang pembayaran itulah dia berangkat ke Glodok atau Mangga Dua untuk 'belanja' komputer rakitan. Selesai dirakit, maka komputer itu kemudian diantarkan ke pihak pembeli.
Contoh lainnya lagi adalah ibadah haji dan umrah. Semua calon jamaah haji dan umrah harus sudah melunasi ONH atau biaya perjalanan umrah beberapa bulan sebelumnya. Padahal berangkatnya ke tanah suci masih beberapa waktu lagi.
Semua contoh di atas adalah akad salam, dimana uangnya tunai diserahkan, sementara barang atau jasanya tidak secara tunai diberikan. Dan praktek akad salam ini telah berlangsung di masa Nabi SAW dan mendapat pembenaran.
Para shahabat dahulu terbiasa menjual kurma yang belum ada alias pohonnya belum berbuah. Namun buah yang rencananya akan ada itu sudah ditetapkan secara detail dengan jenis tertentu, kualitas tertentu, berat tertentu, dan juga ditetapkan kapan akan diserahkannya.
Tentu kurma dengan spek seperti itu bukan hal yang mustahil untuk didapat atau diwujudkan, apalagi buat pedagang kurma di Madinah. Mereka toh sudah punya pohonnya, tiap tahun pasti berbuah. Maka oleh karena itu hukumnya halal. Dan akad ini disebut akad salam. Meski kurmanya belum berbuah, tetapi sudah boleh dijual duluan, asalkan speknya jelas dan pasti.
Dasarnya adalah hadits-hadits berikut ini :
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ ص اَلْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Ibnu Abbas RA berkata bahwa ketika Nabi SAW baru tiba di Madinah, orang-orang madinah biasa menjual buah kurma dengan cara salaf satu tahun dan dua tahun. Maka Nabi SAW bersabda,"Siapa menjual buah kurma dengan cara salaf, maka lakukanlah salaf itu dengan timbangan yang tertentu, berat tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالا: كُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَِسَلَّمَ وَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ؟ قَالا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ - رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Abdurrahman bin Abza dan Abdullah bin Auf RA keduanya mengatakan,"Kami biasa mendapat ghanimah bersama Rasulullah SAW. Datang orang-orang dari negeri syam. Lalu kami melakukan akad salaf kepada mereka untuk dibayar gandum atau sya’ir atau kismis dan minyak sampai kepada masa yang telah tertentu. Ketika ditanyakan kepada kami,"Apakah mereka itu mempunyai tanaman?”. Jawab kedua sahabat ini,"Tidak kami tanyakan kepada mereka tentang itu”. (HR Bukhari dan Muslim)
قال ابن عباس : أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى قد أحل الله في كتابه وأذن فيه ثم قرأ هذه الآية (أخرجه الشافعي في مسنده)
Ibnu Al-Abbas berkata, Aku bersaksi bahwa akad salaf (salam) yang ditanggung hingga waktu yang ditentukan telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya dan Dia telah mengizinkannya. Kemudian beliau membaca ayat ini. (HR Asy-Syafi'i dalam musnadnya)
Dropship Halal
Dari dua cara akad di atas, maka jual beli dropship ini tidak melanggar ketentuan syariah. Meski kita sebagai penjual belum punya barangnya, dan modal kita cuma spek saja, tetapi syariat Islam membolehkan akad seperti ini. Akadnya bisa saja sebagai simsarah, atau broker. Mungkin yang agak mendekati adalah resaler. Berarti kita tidak membeli barang atau jasa, kita hanya membantu menjualkan barang atau jasa orang lain. Lalu kita mendapat fee dari tiap penjualan.